Ada beberapa metode dan pendekatan yang mungkin bisa digunakan dalam pembinaan etika sopan santun kepada anak melalui berbagai cara yang akan kita bahas pada kesempatan berikut, diharapkan dengan metode pembinaan dan pendekatan etika sesuai dengan prinsip dasar etika yang dipadukan, dapat menciptakan insan kamil yang berbudipekerti baik.
1. Metode Syariat (Doktrin)
Seorang anak yang daya berpikir dan penalarannya masih iilim perkembangan diperlukan doktrin-doktrin yang membiasakan perilakunya agar menjadi baik. Doktrin yang dimaksudkan adalah ajaran-ajaran agama yang sifatnya mengikat yang harus dilakukan anak. Maka di sini sebenarnya diperlukan model atau contoh dari orang-orang yang ada di dekatnya. Aturan-aturan sangat diperlukan di saat kemampuan nalar dan daya berpikir masih terbatas, karena memang dalam fitrahnya manusia berkembang secara bertahap dan memerlukan pengarahan untuk menuju rumaannya.
2. Metode Dialog
Anak dilahirkan dengan membawa berbagai macam potensi, termasuk potensi etika yang dibawanya dari ibu dan ayahnya. Potensi yang ada tersebut masih bersifat dasar, maka pengembangannya dengan jalan berdialog untuk menggugah dan menyadarkan berdasarkan potensi yang dibawanya. Apalagi etika adalah bentuk perilaku yang tidak dibuat-buat dan dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanpa tekanan siapapun. Jadi, usaha pendidik mengajak dialog dan bertukar pikiran, untuk penanaman etika mutlak diperlukan. Karena dengan metode ini anak digugah kesa-darannya dengan bertukar pikiran dan merangsang penalarannya.
3. Metode Keteladanan
Pada diri manusia terutama pada usia anak-anak sampai remaja, sifat menirunya sangat dominan. Di usia dewasa pun pengaruh keteladanan dalam diri seseorang masih dapat ditemukan. Sehingga Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw. dengan tugas utama memperbaiki etika manusia. Metode utama yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. dalam berdakwah adalah dengan keteladanan. Metode inilah Nabi Muhammad Saw. mencapai keberhasilan dalam mengemban tugas mulianya.
Pada prinsipnya di samping tiga metode pembinaan etika di atas, dalam Alquran terdapat gaya bahasa mengandung nilai metode pembinaan etika yang akurat. Allah Swt. menunjukkan kepada manusia tentang prinsip-prinsip pelaksanaan pembinaan etika.
Di sisi lain, analisis yang dapat dilihat dan dijabarkan tentang metode pembinaan etika, dapat dilakukan dengan beberapa cara pendekatan, yaitu.
a. Pendekatan Psikologis
Yaitu mengajak dan mengarahkan manusia untuk berpikir induktif dan deduktif tentang gejala-gejala ciptaan-Nya di langit dan di bumi ini (dalam aspek rasional-intelektual). Dalam aspek emosional mendorong manusia untuk merasakan adanya keluasan yang lebih tinggi yang gaib sebagai pengendali jalannya alam dan kehidupan ini. Sedangkan aspek ingatan dan kemauan manusia didorong untuk difungsikan ke dalam kegiatan menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama agar tidak terjadi penyimpangan etika.
b. Pendekatan Sosiokultural
Pendekatan ini memandang manusia sebagai makhluk individual yang menghamba pada Allah Swt. makhluk sosial dan berbudaya. Sebab, manusia dikaruniai potensi dasar etika untuk mengatur sistem kehidupan bermasyarakat (bersuku-suku dan berbangsa-bangsa), menciptakan dan mengembangkan kebudaya-annya bagi kesejahteraan umat manusia, tanpa meninggalkan agama.
c. Pendekatan scientific
Bahwa manusia yang diciptakan Allah Swt. dengan dikaruniai potensi etika, menciptakan dan menemukan hal-hal baru yang Kemudian dikembangkan melalui inteleknya menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidupnya. Hasil ciptaan dan penemuannya itulah berupa ilmu pengetahuan dan teknologi serta ifanu-ilniu lain.
d Pendekatan Sistem Rasionalistik
Suatu cara untuk mengajarkan dan pembinaan etika dengan 3engandalkan akal pikiran. Akal pikiran dapat membedakan attara baik dan buruk, benar dan salah. Pendekatan ini bisa juga fartikan dengan menggali pemikiran-pemikiran pendidikan modern dengan memberdayakan rasio.
e. Pendekatan Sistem Kritik
Pendekatan kritik adalah pendekatan dalam menggali pendi¬dikan etika, baik secara konseptual maupun aplikatif, dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahannya. Kemudian menawarkan solusi atau alternatif pemecahannya. Dahulu filsafat Yunani menjadi subur karena para pemikirnya mengembangkan pendekatan kritik. Demokritus mengkritik Parmenides, Sokrates mengkritik pemikiran Pytagoras, Aristoteles mengkritik pemikiran Plato, Immanuel Kant mengkritik David Hume, Hegel mengkritik Immanuel Kant, John Stuart Mill mengkritik Augus Comte, dan Soren Kierkgaard mengkritik Hegel. Demikian juga dalam filosof Islam; al-Amiri mengkritik al-Razi, al-Ghazali mengkritik Ibnu Sina dan kawan-kawannya, Ibnu Rusyd mengkritik al-Ghazali dan seterusnya. Dari kritik-kritik ini didapat pengetahuan baru, karena pengkritik menawarkan alternatif pemikiran baru.
Kritik itu terlahir dari proses berpikir secara cermat, jernih dan mendalam sehingga ditemukan celah-celah kelemahan dari konsep-konsep, teori-teori maupun pemikiran-pemikiran yang dikritik. Kemudian kritikus mencoba membangun konsep, teori atau pemikiran yang dapat dijadikan alternatif pemecahan ter-faadap kelemahan tersebut. Sampai di sini mekanisme kritik telah menghasilkan dua tataran pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang kelemahan dari objek kritik dan pengetahuan tentang alternatif pemecahan terhadap kelemahan itu. Contoh konkret al-Ghazali ‘setelah mendalami ilmu kalam), ia mengkritik mutakallimin karena tidak mampu mencapai pengetahuan hakiki, bahkan inetode kalam belaka, dipandang membuat manusia tidak dapat mengenal Allah secara hakiki. Dalam bidang filsafat, ia mengecam kecenderungan filosof, karena ajaran-ajaran filosof cenderung membahayakan akidah dan mengabaikan dasar-dasar ritual. la tidak menolak filsafat secara keseluruhan, tetapi yang ditolak hanya argumentasi rasional yang diyakini satu-satunya alat untuk membuktikan kebenaran metafisik. la menilai para filosof telah memaksakan rasio, malah bila perlu mengorbankan akidah. Hal itu menyebabkan al-Ghazali meninggalkan filsafat.31 Dari krisis ini al-Ghazali yang berimbas pada krisis psikologis, akhirnya ia menemukan benang merah kebenaran pengetahuan, yaitu tasawuf.
Dalam konotasi makna inilah kritik terus dikembangkan, dalam arti kritik untuk membangun, bukan pelecehan dan penghinaan, argumentatif dan tidak mengedepankan emosi serta mampu menawarkan solusi. Landasan kritik tersebut harus didasarkan kepada bangunan pendidikan etika dengan memuncul kan konsep pendidikan etika baru yang lebih kreatif, Corak kritik ini memang belum banyak dikenal di kalangan pendidik. Muhammad Arkoun mengatakan bahwa tradisi kritik dalam dunia pendidikan belum begitu dikenal dalam wilayab pendidikan, baik guru dengan guru, guru dengan siswa dan sebaliknya.33
f. Pendekatan Sistem Komparatif
Komparatif adalab suatu pendekatan dengan cara memban-dingkan dua konsep pendidikan etika atau lebih dengan target mengambil keunggulan suatu konsep atau mempertegas kan-dungannya. Perbandingan bisa juga terhadap praktik pendidikan melalui lembaga-lembaganya. Lebih jauh lagi, perbandingan dapat terjadi sesama ayat Alquran tentang pendidikan etika, sesama hadis pendidikan, ayat pendidikan dengan hadis pendidikan, sesama sejarah pendidikan, orientasi pendidikan, bahkan jika perlu studi banding antara sistem pandidikan etika Islam dengan sistem pendidikan etika Kristen.
Untuk sebuah negara Indonesia yang baru berkembang perlu dilakukan perbandingan pendidikan antarkabupaten/kota, antar-provinsi dan antarnegara yang sudah maju. Pendekatan ini telah dipakai dalam berbagai disiplin ilmu dalam dunia pendidikan. Seperti perbandingan agama (muqdranat al-actydn), perbandingan mazhab (muqarcmat al-mazahib), tafsir muqdran (perbandingan) dan lainnya. Khusus dalam pendidikan etika, ada disiplin ilmu per¬bandingan atau disebut studi komparatif. Hanya saja hingga saat ini semangat memperoleh konsep perbandingan untuk dimiliki bangsa ini belum dapat dikembangkan secara maksimal.
g. Pendekatan Sistem Dialogis
Dialogis adalah pendekatan dalam menggali pemikiran pen-iikan etika dengan tanya jawab yang dilakukan oleh sekumpulan orang atau pakar berdasarkan argumentasi-argumentasi ilmiah. Dalam pembinaan etika, seseorang tidak bisa melepaskan upaya dialogis, yaitu dialog dari instansi terkait, guru dengan guru, guru dengan siswa dan sebaliknya. Nurcholis Madjid menegaskan bahwa suatu pengembangan pemikiran tidak mungkin tanpa adanya dialog. Hakikat sejarah pemikiran pendidikan etika adalah kelangsungan dialog integral, yaitu dialog berdasarkan iman, yang tidak lepas dari konteks sejarah.
Selama ini ada kesenjangan antara konsep teoretis dengan normatif. Untuk itu dibutuhkan adanya dialog agar terjadi saling pengertian antara konsep teoretis empiris dengan konsep normatif dalam dunia pendidikan. Secara teologis pendekatan ini memiliki sandaran yang kuat. Dalam pendidikan Islam dengan berdasarkan Alquran terdapat kata-kata yang menggambarkan dialogis, di antara lafaz yang digunakan adalah yas alunaka, saalaha, fas alu dan sebagainya, demikian juga dalam al-hadis.
Pertanyaan dalam ayat dan hadis tersebut biasanya dilan-jutkan dengan jawaban. Dari jawaban ini didapatkan pengetahuan-pengetahuan. Dalam pembinaan etika juga harus seperti itu sehingga terjadi komunikasi dua arah yang akurat, dimengerti siswa dan dimengerti semua kalangan yang membutuhkan.
h. Pendekatan Sistem Intuitif
Intuitif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan cara mencari bantuan atau petunjuk, setelah melalui pemikiran-pemi-kiran yang mendalam. Para pakar pendidikan kontemporer mengakui bahwa intuitif dapat dipakai sebagai sumber dan cara memperoleh pengetahuan. Ziauddin Sardar mengungkapkan, formulasi ilmu kontemporer bukan hanya menyintesiskan apa yang disebut dengan “sains keagamaan” dengan “sains sekular”, fisik dengan meta/isife, tetapi harus menempatkan inspirasi dan intuitif pada inti pengetahuan.
Meskipun demikian, intuitif sebagai realitas yang berhubungan dan sering dialami manusia tidak bisa diingkari meskipun oleh pemikir Barat sendiri. Bahkan sebagian dari mereka menempatkan intuitif pada posisi yang istimewa. Nietzsche memandang intuitif sebagai inteligensi yang paling puncak. Maslow memandangnya sebagai pengalaman puncak yang harus terus dibina dan dikem-bangkan.
Bagaimanapun intuitif merupakan potensi manusia yang besar. Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan etika dapat digali dan dipecahkan melalui intuitif.
i. Pendekatan Sistem Al-Hikmah
Al-Hikmahn menjadi acuan etika filsafat Islam, yaitu alternatif yang menawarkan pembinaan etika. Dalam menghapus dikotomi wujud transendental versus empiris, pendekatan al-Hikmah tidak harus mengingkari keberadaan dunia empiris untuk kemudian larut dalam panteisme ala Leibnitz atau Hegel, tetapi memosisikan dunia empiris pada proposisinya sebagai ciptaan Tuhan, yaitu manusia sebagai subjek pengetahuan. Konsekuensinya, segenap entitas dalam dunia empiris, termasuk proses pencapaian penge-=tahuan manusia itu sendiri tunduk kepada hukum-hukum alam sunnatullah) yang ditetapkan Sang Pencipta, justru bukan sebagai vang dipersepsikan manusia.
Konsepsi al-Hikmah rnemperkenalkan pendekatan holistik Tang menjadikan seluruh potensi intelektual dan psikologis ma-ausia terpadu secara integral menuju sumber pengetahuan itu stndiri, yakni Allah Swt. Pandangan ini berimplikasi visi pendidik-£j secara menyeluruh terhadap keterikatan dan ketergantungan •akhluk sebagai objek pengetahuan dengan Sang Pencipta. Dari EH;, pembinaan etika memprioritaskan iman sebagai prinsip ^r.onk dan unsur praepistemik yang dapat menjamin fungsiona-Eais. akal budi dan potensi-potensi intelektual lainnya secara Brat dan tepatguna
Prinsip-prinsip pendidikan etika dalam al-Hikmah harus berdasarkan wahyu dan keimanan, sebab kebenaran yang bersifat pengetahuan al-Hikmah yang utuh dan integral adalah persesuaian antara penalaran objektif dengan jiwa, naluri, hati dan sanubari yang memperoleh bisikan Ilahi. Dari sinilah pembinaan etika dapat dikembangkan. Ini telah sesuai dengan tradisi bangsa Indonesia yang selalu mengutamakan konsep al-Hikmah.
Dari pendekatan-pendekatan ini, metode pembinaan secara preventif, kuratif dan konstruktif paling tepat diterapkan untuk meluruskan, membina, membimbing ke arah etika yang baik. Pembinaan etika tidak sebatas pembiasaan perilaku baik, tetapi lebih dari itu dapat pula dipakai pendekatan aspek psikologi menuju kebahagiaan dan keserasian hidup di dunia dan akhirat.
Alquran yang menjelaskan tentang metode pembinaan etika melalui pendekatan-pendekatan di atas dapat dijelaskan sebagai
1) Pembinaan etika dapat mendorong manusia untuk meng-gunakan akal pikirannya dalam menelaah dan mempelajari gejala-gejala kehidupan dirinya dan alam sekitarnya: Maka apakah mereka tidak memerhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan? dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan (QS Al-Gha-syiyah [88]: 17-21).
2) Pembinaan etika dapat mendorong manusia untuk meng-amalkan ilmu pengetahuan dan mengaktualisasikan keimanan dan ketakwaannya dalam kehidupan sehari-hari. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Ankabut [29]: 45).
3) Pembinaan etika dapat menumbuhkan jiwa teladanan sebagai contoh yang baik sebagai media untuk dapat meniru suatu pekerjaan (aktivitas). Sesungguhnya telah ada pada (din) Rasulullah itu suri teladan ;. ^ng baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS Al-Ahzaab [33]: 21).
4) Pembinaan etika dapat memberi cerita-cerita yang mengandung keteladanan yang akan dapat membangkitkan emosional dan kesadaran untuk berbuat lebih baik.
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu’, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orangyang beriman (QS Huud [11]:120).
Sumber buku Pengantar Studi Etika M. Yatimin Abdullah
1. Metode Syariat (Doktrin)
Seorang anak yang daya berpikir dan penalarannya masih iilim perkembangan diperlukan doktrin-doktrin yang membiasakan perilakunya agar menjadi baik. Doktrin yang dimaksudkan adalah ajaran-ajaran agama yang sifatnya mengikat yang harus dilakukan anak. Maka di sini sebenarnya diperlukan model atau contoh dari orang-orang yang ada di dekatnya. Aturan-aturan sangat diperlukan di saat kemampuan nalar dan daya berpikir masih terbatas, karena memang dalam fitrahnya manusia berkembang secara bertahap dan memerlukan pengarahan untuk menuju rumaannya.
2. Metode Dialog
Anak dilahirkan dengan membawa berbagai macam potensi, termasuk potensi etika yang dibawanya dari ibu dan ayahnya. Potensi yang ada tersebut masih bersifat dasar, maka pengembangannya dengan jalan berdialog untuk menggugah dan menyadarkan berdasarkan potensi yang dibawanya. Apalagi etika adalah bentuk perilaku yang tidak dibuat-buat dan dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanpa tekanan siapapun. Jadi, usaha pendidik mengajak dialog dan bertukar pikiran, untuk penanaman etika mutlak diperlukan. Karena dengan metode ini anak digugah kesa-darannya dengan bertukar pikiran dan merangsang penalarannya.
3. Metode Keteladanan
Pada diri manusia terutama pada usia anak-anak sampai remaja, sifat menirunya sangat dominan. Di usia dewasa pun pengaruh keteladanan dalam diri seseorang masih dapat ditemukan. Sehingga Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw. dengan tugas utama memperbaiki etika manusia. Metode utama yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. dalam berdakwah adalah dengan keteladanan. Metode inilah Nabi Muhammad Saw. mencapai keberhasilan dalam mengemban tugas mulianya.
Pada prinsipnya di samping tiga metode pembinaan etika di atas, dalam Alquran terdapat gaya bahasa mengandung nilai metode pembinaan etika yang akurat. Allah Swt. menunjukkan kepada manusia tentang prinsip-prinsip pelaksanaan pembinaan etika.
Di sisi lain, analisis yang dapat dilihat dan dijabarkan tentang metode pembinaan etika, dapat dilakukan dengan beberapa cara pendekatan, yaitu.
a. Pendekatan Psikologis
Yaitu mengajak dan mengarahkan manusia untuk berpikir induktif dan deduktif tentang gejala-gejala ciptaan-Nya di langit dan di bumi ini (dalam aspek rasional-intelektual). Dalam aspek emosional mendorong manusia untuk merasakan adanya keluasan yang lebih tinggi yang gaib sebagai pengendali jalannya alam dan kehidupan ini. Sedangkan aspek ingatan dan kemauan manusia didorong untuk difungsikan ke dalam kegiatan menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama agar tidak terjadi penyimpangan etika.
b. Pendekatan Sosiokultural
Pendekatan ini memandang manusia sebagai makhluk individual yang menghamba pada Allah Swt. makhluk sosial dan berbudaya. Sebab, manusia dikaruniai potensi dasar etika untuk mengatur sistem kehidupan bermasyarakat (bersuku-suku dan berbangsa-bangsa), menciptakan dan mengembangkan kebudaya-annya bagi kesejahteraan umat manusia, tanpa meninggalkan agama.
c. Pendekatan scientific
Bahwa manusia yang diciptakan Allah Swt. dengan dikaruniai potensi etika, menciptakan dan menemukan hal-hal baru yang Kemudian dikembangkan melalui inteleknya menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidupnya. Hasil ciptaan dan penemuannya itulah berupa ilmu pengetahuan dan teknologi serta ifanu-ilniu lain.
d Pendekatan Sistem Rasionalistik
Suatu cara untuk mengajarkan dan pembinaan etika dengan 3engandalkan akal pikiran. Akal pikiran dapat membedakan attara baik dan buruk, benar dan salah. Pendekatan ini bisa juga fartikan dengan menggali pemikiran-pemikiran pendidikan modern dengan memberdayakan rasio.
e. Pendekatan Sistem Kritik
Pendekatan kritik adalah pendekatan dalam menggali pendi¬dikan etika, baik secara konseptual maupun aplikatif, dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahannya. Kemudian menawarkan solusi atau alternatif pemecahannya. Dahulu filsafat Yunani menjadi subur karena para pemikirnya mengembangkan pendekatan kritik. Demokritus mengkritik Parmenides, Sokrates mengkritik pemikiran Pytagoras, Aristoteles mengkritik pemikiran Plato, Immanuel Kant mengkritik David Hume, Hegel mengkritik Immanuel Kant, John Stuart Mill mengkritik Augus Comte, dan Soren Kierkgaard mengkritik Hegel. Demikian juga dalam filosof Islam; al-Amiri mengkritik al-Razi, al-Ghazali mengkritik Ibnu Sina dan kawan-kawannya, Ibnu Rusyd mengkritik al-Ghazali dan seterusnya. Dari kritik-kritik ini didapat pengetahuan baru, karena pengkritik menawarkan alternatif pemikiran baru.
Kritik itu terlahir dari proses berpikir secara cermat, jernih dan mendalam sehingga ditemukan celah-celah kelemahan dari konsep-konsep, teori-teori maupun pemikiran-pemikiran yang dikritik. Kemudian kritikus mencoba membangun konsep, teori atau pemikiran yang dapat dijadikan alternatif pemecahan ter-faadap kelemahan tersebut. Sampai di sini mekanisme kritik telah menghasilkan dua tataran pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang kelemahan dari objek kritik dan pengetahuan tentang alternatif pemecahan terhadap kelemahan itu. Contoh konkret al-Ghazali ‘setelah mendalami ilmu kalam), ia mengkritik mutakallimin karena tidak mampu mencapai pengetahuan hakiki, bahkan inetode kalam belaka, dipandang membuat manusia tidak dapat mengenal Allah secara hakiki. Dalam bidang filsafat, ia mengecam kecenderungan filosof, karena ajaran-ajaran filosof cenderung membahayakan akidah dan mengabaikan dasar-dasar ritual. la tidak menolak filsafat secara keseluruhan, tetapi yang ditolak hanya argumentasi rasional yang diyakini satu-satunya alat untuk membuktikan kebenaran metafisik. la menilai para filosof telah memaksakan rasio, malah bila perlu mengorbankan akidah. Hal itu menyebabkan al-Ghazali meninggalkan filsafat.31 Dari krisis ini al-Ghazali yang berimbas pada krisis psikologis, akhirnya ia menemukan benang merah kebenaran pengetahuan, yaitu tasawuf.
Dalam konotasi makna inilah kritik terus dikembangkan, dalam arti kritik untuk membangun, bukan pelecehan dan penghinaan, argumentatif dan tidak mengedepankan emosi serta mampu menawarkan solusi. Landasan kritik tersebut harus didasarkan kepada bangunan pendidikan etika dengan memuncul kan konsep pendidikan etika baru yang lebih kreatif, Corak kritik ini memang belum banyak dikenal di kalangan pendidik. Muhammad Arkoun mengatakan bahwa tradisi kritik dalam dunia pendidikan belum begitu dikenal dalam wilayab pendidikan, baik guru dengan guru, guru dengan siswa dan sebaliknya.33
f. Pendekatan Sistem Komparatif
Komparatif adalab suatu pendekatan dengan cara memban-dingkan dua konsep pendidikan etika atau lebih dengan target mengambil keunggulan suatu konsep atau mempertegas kan-dungannya. Perbandingan bisa juga terhadap praktik pendidikan melalui lembaga-lembaganya. Lebih jauh lagi, perbandingan dapat terjadi sesama ayat Alquran tentang pendidikan etika, sesama hadis pendidikan, ayat pendidikan dengan hadis pendidikan, sesama sejarah pendidikan, orientasi pendidikan, bahkan jika perlu studi banding antara sistem pandidikan etika Islam dengan sistem pendidikan etika Kristen.
Untuk sebuah negara Indonesia yang baru berkembang perlu dilakukan perbandingan pendidikan antarkabupaten/kota, antar-provinsi dan antarnegara yang sudah maju. Pendekatan ini telah dipakai dalam berbagai disiplin ilmu dalam dunia pendidikan. Seperti perbandingan agama (muqdranat al-actydn), perbandingan mazhab (muqarcmat al-mazahib), tafsir muqdran (perbandingan) dan lainnya. Khusus dalam pendidikan etika, ada disiplin ilmu per¬bandingan atau disebut studi komparatif. Hanya saja hingga saat ini semangat memperoleh konsep perbandingan untuk dimiliki bangsa ini belum dapat dikembangkan secara maksimal.
g. Pendekatan Sistem Dialogis
Dialogis adalah pendekatan dalam menggali pemikiran pen-iikan etika dengan tanya jawab yang dilakukan oleh sekumpulan orang atau pakar berdasarkan argumentasi-argumentasi ilmiah. Dalam pembinaan etika, seseorang tidak bisa melepaskan upaya dialogis, yaitu dialog dari instansi terkait, guru dengan guru, guru dengan siswa dan sebaliknya. Nurcholis Madjid menegaskan bahwa suatu pengembangan pemikiran tidak mungkin tanpa adanya dialog. Hakikat sejarah pemikiran pendidikan etika adalah kelangsungan dialog integral, yaitu dialog berdasarkan iman, yang tidak lepas dari konteks sejarah.
Selama ini ada kesenjangan antara konsep teoretis dengan normatif. Untuk itu dibutuhkan adanya dialog agar terjadi saling pengertian antara konsep teoretis empiris dengan konsep normatif dalam dunia pendidikan. Secara teologis pendekatan ini memiliki sandaran yang kuat. Dalam pendidikan Islam dengan berdasarkan Alquran terdapat kata-kata yang menggambarkan dialogis, di antara lafaz yang digunakan adalah yas alunaka, saalaha, fas alu dan sebagainya, demikian juga dalam al-hadis.
Pertanyaan dalam ayat dan hadis tersebut biasanya dilan-jutkan dengan jawaban. Dari jawaban ini didapatkan pengetahuan-pengetahuan. Dalam pembinaan etika juga harus seperti itu sehingga terjadi komunikasi dua arah yang akurat, dimengerti siswa dan dimengerti semua kalangan yang membutuhkan.
h. Pendekatan Sistem Intuitif
Intuitif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan cara mencari bantuan atau petunjuk, setelah melalui pemikiran-pemi-kiran yang mendalam. Para pakar pendidikan kontemporer mengakui bahwa intuitif dapat dipakai sebagai sumber dan cara memperoleh pengetahuan. Ziauddin Sardar mengungkapkan, formulasi ilmu kontemporer bukan hanya menyintesiskan apa yang disebut dengan “sains keagamaan” dengan “sains sekular”, fisik dengan meta/isife, tetapi harus menempatkan inspirasi dan intuitif pada inti pengetahuan.
Meskipun demikian, intuitif sebagai realitas yang berhubungan dan sering dialami manusia tidak bisa diingkari meskipun oleh pemikir Barat sendiri. Bahkan sebagian dari mereka menempatkan intuitif pada posisi yang istimewa. Nietzsche memandang intuitif sebagai inteligensi yang paling puncak. Maslow memandangnya sebagai pengalaman puncak yang harus terus dibina dan dikem-bangkan.
Bagaimanapun intuitif merupakan potensi manusia yang besar. Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan etika dapat digali dan dipecahkan melalui intuitif.
i. Pendekatan Sistem Al-Hikmah
Al-Hikmahn menjadi acuan etika filsafat Islam, yaitu alternatif yang menawarkan pembinaan etika. Dalam menghapus dikotomi wujud transendental versus empiris, pendekatan al-Hikmah tidak harus mengingkari keberadaan dunia empiris untuk kemudian larut dalam panteisme ala Leibnitz atau Hegel, tetapi memosisikan dunia empiris pada proposisinya sebagai ciptaan Tuhan, yaitu manusia sebagai subjek pengetahuan. Konsekuensinya, segenap entitas dalam dunia empiris, termasuk proses pencapaian penge-=tahuan manusia itu sendiri tunduk kepada hukum-hukum alam sunnatullah) yang ditetapkan Sang Pencipta, justru bukan sebagai vang dipersepsikan manusia.
Konsepsi al-Hikmah rnemperkenalkan pendekatan holistik Tang menjadikan seluruh potensi intelektual dan psikologis ma-ausia terpadu secara integral menuju sumber pengetahuan itu stndiri, yakni Allah Swt. Pandangan ini berimplikasi visi pendidik-£j secara menyeluruh terhadap keterikatan dan ketergantungan •akhluk sebagai objek pengetahuan dengan Sang Pencipta. Dari EH;, pembinaan etika memprioritaskan iman sebagai prinsip ^r.onk dan unsur praepistemik yang dapat menjamin fungsiona-Eais. akal budi dan potensi-potensi intelektual lainnya secara Brat dan tepatguna
Prinsip-prinsip pendidikan etika dalam al-Hikmah harus berdasarkan wahyu dan keimanan, sebab kebenaran yang bersifat pengetahuan al-Hikmah yang utuh dan integral adalah persesuaian antara penalaran objektif dengan jiwa, naluri, hati dan sanubari yang memperoleh bisikan Ilahi. Dari sinilah pembinaan etika dapat dikembangkan. Ini telah sesuai dengan tradisi bangsa Indonesia yang selalu mengutamakan konsep al-Hikmah.
Dari pendekatan-pendekatan ini, metode pembinaan secara preventif, kuratif dan konstruktif paling tepat diterapkan untuk meluruskan, membina, membimbing ke arah etika yang baik. Pembinaan etika tidak sebatas pembiasaan perilaku baik, tetapi lebih dari itu dapat pula dipakai pendekatan aspek psikologi menuju kebahagiaan dan keserasian hidup di dunia dan akhirat.
Alquran yang menjelaskan tentang metode pembinaan etika melalui pendekatan-pendekatan di atas dapat dijelaskan sebagai
1) Pembinaan etika dapat mendorong manusia untuk meng-gunakan akal pikirannya dalam menelaah dan mempelajari gejala-gejala kehidupan dirinya dan alam sekitarnya: Maka apakah mereka tidak memerhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan? dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan (QS Al-Gha-syiyah [88]: 17-21).
2) Pembinaan etika dapat mendorong manusia untuk meng-amalkan ilmu pengetahuan dan mengaktualisasikan keimanan dan ketakwaannya dalam kehidupan sehari-hari. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Ankabut [29]: 45).
3) Pembinaan etika dapat menumbuhkan jiwa teladanan sebagai contoh yang baik sebagai media untuk dapat meniru suatu pekerjaan (aktivitas). Sesungguhnya telah ada pada (din) Rasulullah itu suri teladan ;. ^ng baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS Al-Ahzaab [33]: 21).
4) Pembinaan etika dapat memberi cerita-cerita yang mengandung keteladanan yang akan dapat membangkitkan emosional dan kesadaran untuk berbuat lebih baik.
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu’, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orangyang beriman (QS Huud [11]:120).
Sumber buku Pengantar Studi Etika M. Yatimin Abdullah